Senin, 05 April 2021

Bu.

 Dulu aku masih kecil sekali ya, Bu. Aku ingat 13 tahun lalu ketika Ayah pergi, aku masih menangis tersedu di bawah lenganmu. Sedang air matamu mengalir membawa pikiranmu melayang jauh disana; apakah kami bisa melewatinya hanya denganmu, bertiga.

.


Aku masih ingat, hari paling hancur seumur hidupku, kurasa. Hari itu, seperti biasa kau memboncengku mengantarkanku sekolah. Kita mengalami kecelakaan di persimpangan tiga menuju sekolah. Kau bergegas mencariku terjatuh dimana lalu berulang kali bertanya "Apa yang terluka, nak?" Sambil memastikan tubuhku baik baik saja. Sedang orang-orang sudah memanggilmu sebab darah segar mengalir dari kakimu yang terkoyak dengan lebarnya. Aku menangis luar biasa. 

.

Orang-orang ingin membawamu kerumah sakit namun kau masih meminta bantuan orang orang untuk mengantarkanku sekolah. 

Aku yang kecil waktu itu, menurut saja. Sepanjang perjalanan kesekolah, Aku menangis sesenggukan tak dapat kutahan bagaimana rasanya. Bagaimana bisa kau memaksaku untuk sekolah, sedang perasaanku hancur melihatmu meminta tolong dengan berlumuran darah.






Tapi


Allah tak pmengambil sesuatu darimu kecuali digantikan dengan yang lebih baik, kan Bu ? 

Terimakasih telah membuatku sekolah.

Semoga engkau panjang umur dan diberikan keberkahan dalam umurmu, senantiasa. 

Allahumma sholli 'alaa sayyidina Muhammad wa 'ala ali sayyidina Muhammad.

Nomor Satu.

Sunyi di hari ini. Seperti hari-hari kemarin. Tak ada patah kata yang kita keluarkan. Tak ada harapan yang kita bentangkan.

Kita menjadi dingin pada diri kita masing-masing. Kita takut pada semesta yang membeku. Ketika berpapasan, atau satu dari kita muncul diantara kerumunan.
Tiba-tiba kita.

Hati kita, menjadi pusat gravitasi satu sama lain.

Mata kita masih menundukkan diri. Tapi hati kita, tak ada yang tahu-bahwa mereka saling mengendalikan diri.

Allah masih nomor satu. Kita lafadzan berulang-ulang.

Allah,

Masih nomor satu. Selalu Nomor Satu.



Sabtu, 06 Maret 2021

Harapan.

 Aku tak tahu siapa yang lebih dahulu datang. 

Jodoh atau kematian. Tapi harapan ini terus tumbuh, berkembang dan mekar.
Untuk Ibuku, aku ingin menjadi besar dengan segala kerendahan yang mengakar.
Meski hingga sekarang aku masih tak tahu apa lebihku, dan apa yang bisa kulakukan utuk menjadi besar. 

Tapi aku masih berharap kelak, dapat menjadi wanita pilihan.
Yang mengemban surga, pada telapak kakinya
Surga yang menuntut ridha, untuk anak anaknya
Tak peduli ia bagaimana.
Tak peduli ia seburuk apa.

Surga itu tetap ada.