Senin, 23 Februari 2015

Tentang Mimpi

Institut Pertanian Bogor. Perguruan Tinggi yang membuka mataku bahwa pertanian bukan hanya soal cangkul-mencangkul dan bersatu dengan lumpur. Perguruan Tinggi yang membuatku merasakan bagaimana rasanya memiliki mimpi..


Mimpi yang mendesak pemimpinya untuk bangun dan melakukan perubahan. Agar mimpi tersebut tidak melayang terbang tidak sempat di-amin-kan. Hingga ketika aku merasa kesempatan itu sudah tidak ada, mimpi bercerita tentang doa-doa yang tak  luput dari  seperempat malam terakhir ketika kening dan sajadah bersatu..


***

Kelas 11.

Aku menggerakan jemariku diatas keyboard, sesekali menekan tombol scroll dan berhenti sejenak. Kuletakkan siku kiriku diatas meja dan kutopang daguku di telapak tanganku. Serasa baru saja mendapat kupon undian berhadiah liburan ke ke Paris bersama ibu dan kakakku. Refleks kuambil buku yang tampak dihadapanku dan kutarik secarik kertas di halaman belakang. 

Kutulis sebuah nama yang membuat senyumku melebar sedari tadi. Yang membuat jantungku berdegup kencang sedari tadi. Bibirku ikut bergerak membacakannya untuk diriku sendiri.


"Institut.. Pertanian Bogor."


Pertama kalinya. Rasanya luar biasa. Seperti tersengat, tak seperti sengatan lebah yang membuatku tak berkutik saking terasa sensasinya. Sengatan yang ini membuatku candu untuk menuliskannya lagi dan lagi.  Bulu kuduk-ku merinding. 
Perasaan bangga itu ada.

Untuk pertama kalinya, aku punya mimpi.
..seperti orang kebanyakan.


Aku tahu kala itu aku banyak mainnya. Bukan tanpa alasan. Aku masih tidak menerima jurusan ini, jurusan ipa. Aku yakin akan masuk ips, aku suka sekali hal-hal sosial ataupun yang memerlukan pandangan. Aku bersemangat kala pelajaran kewarganegaraan. Dan jarang sekali aku tak mengangkat tangan saat guru bahasa indonesia menanyakan tanggapan yang bisa diberikan terhadap bacaan. Entah mengapa. Hal-hal yang berhubungan dengan analisa menarik perhatianku.

Ketika aku mendapat rapor semester 1 untuk kelas 11. Betawa pedihnya hati ini, bukan karena urutan ranking yang dibacakan, aku menangis karna telah membuat ibuku kecewa, sekalipun ibu tak menampakkan kekecewaan itu. Aku mendapat ranking 20an dari 32 siswa. 
Entahlah, aku sampai tidak ingat tepatnya berapa. Yang kuingat hanya suara wali kelasku yang menyebutkan angka depan, 20. Selebihnya, pikiranku kosong.

Angan-anganku untuk berada di IPB mundur selangkah.


Namun begitu, acapkali aku membuka twitter, kebiasaan membuka acc twiiter official IPB seperti sudah mendarah daging.


Jadilah, hari berganti dan keinginanku menjadi-jadi.


Singkatnya, aku berubah 180 derajat. Aku mengikuti pelajaran sebaik mungkin. Malam-malamku kuhabiskan dengan latihan soal-soal dan membaca materi yang baru diajarkan esok hari. Aku berharap setidaknya masuk 10 besar dengan usaha dan ikhtiar ini.

"Setidaknya ranking 10, yaRabb.."
Batinku terus saja mengaduh ranking 10 sebelum pengunguman ranking mid semester kelas 12.


Hari itu pun tiba. Hari pengunguman ranking. Hari ranking 10-ku yang kutunggu-tunggu. Aku telah menerka-nerka sendiri dari jauh-jauh hari siapa saja yang akan mendapat ranking 1-9.
Dan kemudian akulah sang urutan ke-10 itu.

Wali kelasku membacakan urutan dari ranking 1. Bibirku sibuk sendiri, komat-kamit berucap dzikir.

"Juara 1.."

Wali kelasku diam sejenak


"Ade Gusalinda." Lanjutnya. Tepukan tangan teman-teman spontan mengagetkanku.


Aku shock. 


Ucapan selamat berhamburan dari segala penjuru.
Allah Maha Besar. Ini bukan mimpi.

Ingatan setahun yang lalu melayang di pikiranku. Tangis yang pecah di pelukan temanku, hari ini terbayar sudah.
Hari ini, senyumku mengembang di pelukan temanku. 

Urutan terendah, penuh hikmah.
Benar kata orang, usaha tidak pernah mengecewakan hasil.


Hari itu, angan-angan berada di kampus hijau maju dua langkah.


Singkatnya, semester 2 dipenuhi kesibukan untuk seleksi masuk PTN. Meski begitu kuatnya keinginanku di IPB, aku juga ingin bersikap realistis tanpa pesimis namun optimis. 
Aku tak mengambil IPB di snmptn. Bukan karna universitas yang kuambil lebih mudah. Aku tak pernah mempunyai pilihan selain IPB. Segalanya menjadi lebih mudah ketika Allah, mengirimkan seseorang yang membuka pikiranku untuk menjatuhkan pilihan hingga aku memilih univ tersebut. Universitas yang sama dengan dirinya.

Walaupun pada akhirnya aku gagal, Aku tidak menyesal.

Setidaknya aku pernah berjuang tentang hal yang sama dengannya. Meski langkahnya lebih dulu.


Singkatnya, aku mengikuti segala cara untuk bisa masuk IPB, kecuali jalur mandiri. Aku menganggap segala bentuk mandiri itu besar biayanya. Aku tak ingin membebani ibu sebagai single parent. Sudah cukup pengorbanannya selama ini.

Bagiku, memikirkan ia kesusahan selagi aku merantau saja aku tidak tega. Dan pertanyaannya, anak manakah yang akan tega?


Setelah sederet perjalanan yang ku tempuh, tibalah aku di hari itu. Hari pengunguman, nama lainnya adalah hari terakhir untuk menyudahi segala mimpi-mimpi dan memulai mimpi yang baru, setelah ini. Aku benar-benar pesimis. Hari itu, hanya sebuah kalimat yang berputar-putar di kepalaku.

"Rencana-Nya Maha Baik" 


Lalu, bagaimana hasilnya?
...kau tahu?

Aku tak salah menjatuhkan pilihan sejak awal. 
Ini jalanku, ini usahaku, inilah doa ibuku.

Iya.
Assalamualaikum, IPB! 


Alhamdulillah, Aku diterima menjadi maba IPB. Jurusan Statistika. 


Tak ada lagi kata yang sepadan kuucapkan untuk memuja Kebesaran-Nya. 

Aku diterima di IPB, universitas yang masih ada di dalam doa-ku ketika ibu menyuruhku untuk tidak berharap lagi di IPB. Karna begitu banyak ketidakmungkinan yang aku sendiri menutup mata untuk mau tahu. Akal yang menyadarkanku bahwa ibu benar.


Namun, siapa yang dapat melampaui akal? Siapa yang dapat mematahkan segala ketidakmungkinan?


Lagi-lagi Dia. Sebab hanya Dia.

Allah Tabaraka Wa Ta'ala.

Hari itu, keharuan menyelimuti rumah kami. 

Meski hanya ada aku dan ibu didalamnya^^


Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdziban.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (:


"Aku percaya Tuhan menempatkan segala sesuatu sesuai takaran. Takaran yang adil tanpa melihat kasta. Tak ada pembeda. Sebab yang mempunyai derajat paling tinggi  adalah yang paling senang beribadah dan tak berhenti berusaha, peluhnya sampai ke pelupuk mata, namun tak berhenti meski mengaburkan mata," - De.



Minggu, 22 Februari 2015

Ada namamu, di cita-citaku

Terkadang, aku terlalu sibuk beraktifitas.  Namun untuk Allah, hanya secuil waktu yang kuberikan untuk-Nya.
Entah apa yang akan ku katakan jika sedetik kemudian ia memanggilku..    

Terkadang, aku pun terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tak pasti. Ataupun hal yang tak halal bagiku. Sementara, ada hal yang pasti terjadi namun seringkali terabaikan seolah-olah ia datang hanya ketika tua nanti. 
Padahal tak ada makhluk bernyawa yang   mengetahui.
Dialah, yang disebut  mati.

Meski begitu. Setiap makhluk bernyawa yang akan merasakan mati pasti mempunyai  cita-cita menggebu didalam diri. Tak sedikit pula yang berharap dapat menggapainya sebelum malaikat maut menghampiri.

Sama halnya aku.

Sebelum waktu berhenti untukku, Aku Ingin menjadi wanita yang lebih baik lagi. Jalan berkerikil menuju gerbang cita-citaku dapat ku lewati, bisikan-bisikan setan yang akan membelokkan niatku dapat kuperangi.

Aku ingin istiqamah menggapai mereka dijalanku, di tanganku sendiri.

Adalah cita-cita dan kebahagiaan, mendaftarkan ibu pergi haji^^             

Mengabarkan ibu bahwa anaknya telah mendaftarkan namanya sebagai calon jemaah haji. Cita-cita yang merangkul nama ibu di dalamnya, meggeser cita-citaku menjadi psikologi. Cita-citaku saat ini dan kurasa takkan berubah. Malah bertambah. Hm, menjadi perangkai puisi dan istri yang shalihah, barangkali? :p

Rabu, 04 Februari 2015

Memperingati Hari Kanker Sedunia

Untukmu, orang-orang kuat sedunia,

yang kaya akan rasa syukur..

Pagi ini masih bisa bernapas meski menggunakan alat bantu, kau tetap percaya Tuhan itu baik.

Bahagiamu sederhana saja. Melewati setengah hari tanpa darah yang tergenang di rongga hidungmu.
Sesederhana itu.

Mungkin terkadang, kau pun sedih sekaligus terheran-heran mengapa banyak orang yang ingin mati bunuh diri hari ini hanya karena masalah yang tak dapat ia atasi. Sementara dirimu-untuk bisa hidup esok hari, harus menjalani radiasi kemoterapi.

Memang,
Penyakit menjadikan ragamu sakit. Tetapi jiwamu, kau rakit.

Maka untukmu,
La Tahzan. Janganlah bersedih.
Semesta bersama kepedihanmu.

..dan untuk kita,

Janganlah merasa diri lebih baik.
Raga yang sehat bukan berarti jiwa tak sekarat :)