Sabtu, 19 Desember 2015

Menemukan yang tepat.

Kata orang,

Kasih sayang adalah perihal yang tak pernah berakhir. Ada kalanya mereka berpindah dan hadir bersama orang yang lebih tepat.

Aku tidak sependapat.

Tepat kelebihannya. Tepat sempurnanya. Sampai letih pun kau berlari mencari dan keringatmu kering karenanya, ia takkpan pernah kau dapatkan. Takkan pernah.

Pernyataan itu, seringkali dimarakkan ketika kau merasa jenuh.
Semacam pembenaran ketika kelak memutuskan untuk berpisah karena ternyata ia bukan orang yang tepat.



Sebab bukan sesederhana itu.
Kasih sayang yang telah Allah tumbuh-letakkan pada sudut terbaik sisimu, tak pantas untuk disamaratakan dengan keegoisanmu yang merasa perlu berpura-pura lupa.

Karena untuk menemukan, 
Kau tak perlu membanding-bandingkan hingga merasa ia pantas dan kau puas.

Mengukur keimanan dan kebaikan seseorang, bukan keahlianmu. Kau takkan pernah merasa puas.

Kau hanya perlu merasa cukup.
Merasa cukup dengan cara sederhana.

Menggantungkan Pada Yang Seharusnya,
Allah Tabaraka Wa Ta’ala.

Kau tahu bahwa Allah Mengerti, ketika kau sendiripun tak kuasa berkata.  
Agar terus Allah Perbaiki dan kau pun terus merasa perlu memperbaiki diri sendiri.

Dirimu, dan segala ketidakmampuanmu menentukan sikap ketika semesta pun turut berbicara.

Hingga pada akhirnya, kaupun siap pada waktu yang tepat. Entah itu waktu yang tepat untuk saling melengkapi, 
ataupun waktu yang tepat untuk berhenti dan saling mengikhlaskan.


Ya. Ikhlas..


Meski terasa sulit menancapkan dalam hati getirnya kata yang disesakkan cinta Allah ini,

kurasa ikhlas, adalah satu-satunya cara menyadari
seberapa besar iman itu sendiri..^^



Berdoalah. Karena hanya doa, yang mampu menggerakkan takdir-Nya.



Sabtu, 12 September 2015

Mereka menyebutnya, Endah Alhur.

Cerita ini, ketika saya masih semester dua.
Sekarang sudah tingkat dua, sebentar lagi tingkat tiga, sebentar lagi wisuda, sebentar lagi menikah dan punya tiga anak lucu-lucu.

Oke. Lupakan.


Jadi, saat itu seusai praktikum, saya menarik langkah berbalik ke arah Masjid Alhurriyah IPB. Saya teringat acara yang diadakan Alhur. Sesampainya disana, ternyata saya salah mencerna informasi, saya memutuskan balik lagi ke asrama setelah shalat maghrib di Alhur.

Adzan berkumandang. Saya meletakkan barang bawaan dan pergi berwudhu.
Sesaat setelah keluar dari tempat wudhu, saya berpapasan dengan sosok yang tak asing lagi bagi mahasiswa IPB.
Lengkap dengan penampilan khasnya, Gamis dan jilbab syar’i.
Namanya Endah. Mereka menyebutnya "Endah Alhur" karena ia seringkali berada di Masjid Alhurriyah IPB.


Sebenarnya tak sopan jika kita hanya menyebutnya Endah Alhur. Sebab barangkali, beliau sudah berbeda jauh soal umur.

Masih teringat beberapa waktu lalu ketika saya hampir saja diserempet motor, beliau berteriak menyadarkan saya dan mengatakan hal yang kurang berkenan.  Dan sekarang, saya pun berpapasan dengannya. Lagi.
Disini, lewat takdir ini,
yang kemudian merubah segala persepsi saya tentangnya..

“Eh, si merah..” tegurnya sambil menunjuk jilbab saya yang berwarna merah. Dada saya berdegup kencang. Kaget, Saya pun menatapnya, tanpa berani menyunggingkan senyuman.
Sejenak ia berlalu, barulah saya memberanikan diri untuk menoleh. Saya melihatnya dari tangga yang biasanya dilalui para akhwat untuk shalat di lantai 3. Beliau  hendak masuk ke tempat berwudhu wanita.

Tepat di depan pintu tempat berwudhu, ada kejadian salim-salim-an yang tak pernah saya sangka.
Jujur saja, Saat itu-kejadian seperti ini-masih sangat asing bagi saya yang sebelumnya masih terbilang jarang melangkahkan kaki ke masjid Alhur.
Beberapa orang menyalami dan mencium tangan beliau. Bahkan, seorang perempuan berkerudung lebar datang memeluknya. Memperlakukannya seperti saudaranya sendiri.
Ah, rasanya, saya pun merasakan kehangatan yang beliau rasakan setiap diperlakukan baik seperti ini.


Sementara beberapa orang yang berlalu lalang bereaksi seperti saya, melihat dan seakan tak percaya.
 Tak bisa dipungkiri rasa penasaran saya. Apa benar ini beliau? Endah “Alhur” yang seringkali di jadikan bahan tertawaan, ditakuti karena tatapan, tindakan, dan lantang suaranya. Saya tak melihat satupun  cela yang tampak pas melekat padanya di jarak sedekat ini.

Bagi saya,
melihat secara dekat lebih baik dibandingkan mendengar lebih banyak. Tapi mendengar lebih banyak, akan lebih baik jika kemudian  meluruskan selurus-lurusnya ataupun tak mempercayai sama sekali.
Bukankah setiap agama mengajarkan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan?


Saya jadi teringat masa semester satu, kalau tidak salah, Ketika itu, saya bukanlah apa yang saya rasakan sekarang. keinginan berhijrah belum membatin, keinginan taat sebatas suara nyaring,  Teman-teman membincangkan Endah Alhur dan menjadikannya bahan tertawaan, saya pun ikut tertawa tanpa mengajak menyudahinya. Allah. Betapa hinanya, betapa hinanya saya saat itu..

Barakallahu, untuk beliau,
di Pengadilan Allah kelak, entah berapa banyak catatan amal baik yang beliau sendiri pun tak merasa pernah melakukanya.  Sebab amalan tersebut datang dari mereka sendiri, orang-orang yang telah mencemoohnya..

Saya kembali menaiki tangga dengan perasaan tak menentu. Terbesit niatan untuk sekedar berbagi sapa dengannya.
Ketika sampai di jamaah perempuan, ternyata saya masbuk. Saya bergegas mengambil mukena dan sengaja mengambil tempat shalat di pinggir paling kanan, sementara beliau mengambil deretan shaf pinggir paling kiri.

Saya kembali mencari sosoknya setelah shalat..

“itu suara kipas angin mengganggu orang shalat!” hingga kemudian terdengarlah suara khasnya, yang lantang dan tak pernah malu-malu. Seperti biasanya..

Saya melihatnya lagi.

Endah Alhur. 
Wanita yang tak jarang di tolak penduduk dunia, sebab saya rasa, ia lebih pantas diterima penduduk langit.
Mungkin saja,
namanya telah harum di sebut-sebut para malaikat, Sebuah istana surga lengkap dengan pemuda yang selalu muda untuknya, telah tercatat.
Allahumma Aamiin.

Saya bergegas merapikan mukena dan tanpa ragu mendekati pemilik suara itu..
Hingga  tepat berhadapan, ia melihat saya. Segera saya mengulurkan tangan, lalu mencium tangannya.
Allah. Saya hanya mampu berteriak dalam hati, menyesali tawa yang pernah tertuju padanya. Tertekad di hati, memahaminya dari segala sisi..


"oh.. kirain si novia tadi" selorohnya sambil melihat ke sekitar.
"bukan bu." saya tersenyum kecil. 

"eh bagi 5000 dong. 5000.." ujarnya tiba-tiba berbisik. Saya hampir saja tertawa. Bukan, bukan karna ia tak sesuai dengan yang  saya bayangkan. Tapi memang inilah dirinya..
Saya jadi teringat ketika SD, saya palakin temen supaya kelihatan lebih akrab.. :))

Jika saya mengingat-ngingat kembali kejadian saya hampir diserempet motor, bisa jadi tindakannya itu adalah caranya untuk memberitahu saya ada motor yang melaju dan hampir menyerempet saya..
Who knows? ^^

Tulisan ini untuk mengingatkan diri.

Endah.
Alhur.
Dua kata sebagai panggilan.
Perempuan yang juga Allah cipta.
Kita dan beliau sama. Sama-sama celupan warna Allah. Maka pantaskah, menghina apa yang Allah karya? Apakah kita punya jaminan, bahwa kelak di Pengadilan Allah, kita dalam keadaan baik dan tak terhina?

Tak pernah berbaju kehabisan bahan^^ Gamis lagi, gamis terus. Tak pernah ia tinggalkan.
Maka pantaskah, mencemooh perintah Allah dan sunnah rasul yang ia teladankan?

Anak muda yang bukan mahrom terlihat berduan, dengan lantang ditegurnya. Dengan berani, dapat dipisahkannya. Dengan caranya..

Ya.
Caranya yang belum diterima orang kebanyakan. Sebab dirasa tak waras. Sebab terlalu lantang, terlalu berani. Dia yang terlalu berani menentang.
Sementara kita, yang terlalu merasa benar,
sulitkah mengambil pelajaran?
ataukah budaya mencemooh, memang sudah begitu mengudara diantara kita?



Jawabannya, ada pada kita.
'



Foto saya ambil dari she-yummie.blogspot.com. 

Sabtu, 29 Agustus 2015

Emansipasi wanita? Bukan saya.

"Kamu, kuliah tinggi-tinggi mau jadi apa?"

"Mau jadi pembangun bangsa.." katanya pelan.

"Oh, apa itu jelasnya? Pejabat? Waah bagus, apalagi kalau gajimu bisa melebihi gaji suamimu. Ngga bakal deh kamu diatur-atur!" 

"Bukan." Ia tersenyum
"Maksud saya, Ibu rumah tangga. Kalau ada pekerjaan sampingan, ya itu harus melalui persetujuan suami saya. Selagi tidak mengganggu pekerjaan utama saya. Ibu rumah tangga."
"Loh, kok?"
"Iya. Menjadi madrasah utama bagi anak-anak saya. Bukankah berarti saya sedang membangun bangsa?"
"Tapi, kan.. ngapain kamu sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya di dapur?"
"Justru itu. Kalau saya ngga sekolah tinggi-tinggi, gimana bisa saya membangun bangsa? Jadi perguruan tinggi adalah salah satu cara saya mencari pengalaman hidup. Bagian mana yang bisa saya ambil dan saya terapkan ke anak cucu saya kelak. Tidak ada emansipasi wanita dalam kamus saya." tandasnya mantap

"lalu, sebenarnya apa cita-citamu?"


ia berpikir sebentar. 

"Menjadi penulis! Tanpa fitnah, lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah." tutupnya penuh semangat. 


Sungguh kamu tidak meninggalkan sesuatu karena takwamu kepada Allah azza wajalla, melainkan Allah pasti akan memberimu ganti yang lebih baik darinya” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani).

Jumat, 28 Agustus 2015

Tentang sabar.

Hari ini saya belajar lagi tentang kesabaran. Sabar itu berat. Sungguh berat. Tapi camkan, berat karena kita masih mempunyai angan keduniawian.

Jika Allah mengambil sesuatu, lalu kita terus beristiqamah menanamkan dalam hati-terlebih ketika kesabaran itu diuji-bahwa "Allah tidak akan mengambil sesuatu kecuali Dia menggantikannya yang lebih baik".
Insyaa Allah, kita merasa lebih tenang dengan terus mengingat kata-kata ini. Tapi terkadang, angan-angan setan itu sampai juga di telinga kita dengan  cara lain..
Sudah susah payah, melegakan hati sendiri, meredamkan api yang menyulut hati, ada saja yang datang untuk menyalakannya malah lebih besar dari sebelumnya. Semacam memperkeruh keadaan.
Kalau sudah begini, tentu sangat beruntunglah orang-orang yang sabar. Dan benarlah kata rasulullah,
kesabaran itu ada pada hantaman pertama. Pada hantaman selanjutnya, mungkin Allah menguji kita untuk belajar istiqamah di sini..

Saya tidak setuju dengan orang yang mengatakan sabar itu ada batasnya. Lalu dengan kebanggaan hati, maluaplah amarahnya karna merasa pendapatnya benar.
Sabar itu tanpa batas. Yang berbatas adalah kepuasan hati untuk mengeluh dan mengumbar. Bukankah semakin banyak mengeluh, masalah terasa semakin besar? Bukankah semakin banyak mengumbar, kesombongan hati dan sikap merasa paling benar tersemaikan?

Untuk yang masih mempunyai emosi meluap-luap, mungkin bisa merubah posisi badan. Jika sedang berdiri, duduklah, atau jika sedang duduk berbaringlah. Saya pernah mencobanya dan ini sangat membantu, terutama berbaring. Lebih baik lagi jika terus berabaring sambil berdzikir. Meski ada saja cara setan untuk meniupkan api lagi ke ubun-ubun kita, tetapi ingatlah; hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi lebih tenang.

Hanya dengan menyebut asma Allah, hati menjadi lebih tenang.

Hidup ini investasi untuk akhirat. Kesuksesan, kegagalan, kesedihan, amarah yang datang telah Allah tuliskan sejak kita belum lahir, dalam kitab Lauh Mahfudz. Sebagaimana daun yang gugur pun telah tercatat dalam Lauh Mahfudz. Maka takdir, tak ada satupun dari kita yang dapat mengelak.

Untuk yang sudah mulai dapat mengontrol emosinya sendiri, bisa mencoba menyederhanakan masalah lebih baik lagi.  Mungkin ini adalah salah satu cara Allah yang mengingatkanmu pada-Nya, sebab Allah rindu padamu.

Allah rindu langkahmu yang bersemangat mengambil wudhu dalam sepertiga malam terakhir.

Jangan menyalahkan diri sendiri sebab merasa tak mampu menyalahkan orang lain.
Jangan menyalahkan diri sendiri sebab tak ingin menyakiti orang lain..
Bukankah untuk mencintai orang lain, maka harus kita awali dengan mencintai diri sendiri terlebih dulu? :)

Dalam Tazkiyatun Nafs oleh Said Hawwa; Sahl berkata, "bersabar ketika sehat atau mendapat kenikmatan jauh lebih berat dibandingkan bersabar menghadapi musibah atau cobaan. Ketika para sahabat mampu membuka pintu gerbang kenikmatan dunia, mereka berkata, "Kami telah mendapat ujian dengan penderitaan, maka kami pun mampu menghadapinya dengan kesabaran. Ketika kami mendapat cobaan dengan kekayaan, maka kami tidak mampu bersabar."

Yah.. berbicara panjang lebar sangat mudah. Merealisasikannya yang terasa berat. Semoga tulisan ini bisa menebarkan manfaat pada diri kita semua. Saya pun masih perlu sekali untuk belajar.. hanya jika saya merasa ingin berbagi, jawaban dari masalah saya sendiri yang alhamdulillah seringkali saya temukan :)

"Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas." (Qs. Az-Zumar: 10)

"Dan Kami pasti akan memberikan balasan kelada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. An-Nahl: 96)

"...dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Qs. Al-Baqarah: 177)

Rabu, 19 Agustus 2015

Mencegah luka.

Maka akan ada beberapa dari kita yang tak merasa lega sebakda membenamkan luka.
Akan ada beberapa dari kita yang tetap tegar meski orang lain sudah kehilangan sabar.

Sebab sama-sama tak ingin menyakiti.

Jika mampu menahan akan terus menahan.
Jika mampu mengobati akan terus berhati-hati
Tak masalah. Karena terbiasa menelan gundah menjadikan hati terus berbenah. 
Tapi bila sampai suatu masanya nanti,
Bisa saja kejujuran yang selalu disiasati menjadi sebab berkata pasti.
Kesabaran yang terdesak melululantahkan sesak.

Tak ada yang salah dengan ketakmampuan menahan.
Tapi cara menyampaikan, terkadang tak mampu mengambil peran.  
Maka jadilah-satu dari kita tersengat kata.
yang racunnya mematikan rasa.
Padahal, sama-sama tak ingin menyakiti. Sama-sama tak ingin membekaskan luka.


Menjadi malaikat.

Hari ini, Segala bentuk pertahanan yang telah menjulang kau bangun. Termasuk air mata yang harusnya kau buat siklusnya mengalir kembali ke dalam matamu, malah melenggang turun lalu membuat segalanya terasa lebih pedih, untukmu sendiri.
Air mata yang kau hasilkan, dengan setetes ketidaktahuannya, membuat lubang pada pertahananmu.
Benar, kau tak pernah rela.

Kau tak rela tapi kau hendak berbuat apa?  Melawan dan membuatmu terlihat lebih besar dalam pandangan mereka yang mengecilkan?  Satu hal, kau memang kecil. maka "benarlah" perlakuan mereka yang mengecilkan keadaanmu.
Tapi jangan pernah merasa kecil, terhadap mereka yang mengecilkan niatmu.
Allah, bersama orang-orang yang memelihara niat baiknya.

Maka sebab-Nya, hari ini-kau harus menjadi malaikat bagi dirimu sendiri..

Sabtu, 16 Mei 2015

Dalam dekapan sajadah.

Kau  sadar betapa lemahnya dirimu, bila rindu datang betapa gagahnya.
Betapa ketidakmampuanmu meluapkan diri. Betapa ketidakmampuannya rindu itu sendiri.

Menangis dihadapan teman karib tentang apa yang membebani, mungkin masih dini. Kau pun tahu, tangismu tak benar-benar pecah. 
Legamu tak benar-benar merekah.
Sementara rindumu, masih tumpah ruah.


Seandainya setiap orang tahu,

Bahwa Rindu hanya membutuhkan pelabuh. 
Kemana ia harus berkisah tanpa perlu menahan napas. 
Kemana ia dapat bergerak lepas
menyulap duka sempit menjadi keikhlasan luas.


Seandainya setiap orang tahu

Ada rindu yang melabuh hingga sembuh
Ada rindu yang berbekas namun dapat ditepis keras,


dalam dekapan sajadah..
yang eratnya tak membuat resah.

Bentangannya basah, 
bersebab bulir bening yang turunnya deras.
Melegakan, tanpa perlu menangis keras.


Sebab dalam dekapan sajadah yang terbentang,
rindu kemudian tahu bagaimana caranya pulang.

   
Bersujud di hadapan Sang Kerinduan. Tangisannya tentram dalam jawaban. Tak lagi menyesakkan.


Cukuplah Dia yang berbelas kasihan
Cukuplah Dia yang menyimpan 
hingga bila masanya, cukuplah Dia yang menambatkan
rindu yang menjulang


pada yang tertuliskan.




Senin, 11 Mei 2015

Malarindu.


Tubuh ini sedang merindu.
Rindunya, rindu sekali.
Sesaknya, sesak sekali.

Bagaimana mungkin, ada rindu yang begini, Allah.

Rindu. Rindu Engkau.
Pemilik rindunya segala rindu.
Pengatur sang pecinta bertemu

Rindu Engkau. Allah.

Jumat, 20 Maret 2015

Berbagilah.


Seorang kakek dengan api semangatnya yang masih merah menyala. Bertelanjang kaki, ia tantang matahari.
Tapi matahari tak pernah menang.
Diatas aspal. Matahari kalah, 

pada seorang kakek dengan becaknya.


Suatu waktu, saya melihat seorang kakek tengah terengah-engah mendorong becaknya di bawah terik matahari. Tangan menahan beban becak. Kaki menahan panasnya aspal jalanan.
Pemandangan yang seringkali terabaikan, pun seringkali menghentakkan hati.


Selain kakek pembawa becak, tak jarang pula saya melihat kakek yang selalu berada di koridor media centre. Beralaskan lantai, ia duduk untuk menunggu sekotak tissue yang sedari pagi ia jualkan agar laku hari ini, setidaknya terjual pada seorang mahasiswa. Begitu setiap hari.


Bila melihat mereka. Bukan lagi keinginan Dan kebutuhan diri yang terbesit. Semuanya hilang. Rasanya, apa yang saya punya hari ini sudah lebih dari cukup. Uang saku bukan lagi menjadi pertimbangan untuk membeli satu dari dua barang. Semuanya terlupakan, yang tertinggal hanyalah keinginan memberikan sebagian. Untuk seorang kakek, agar tak lagi menunggu disini. Makanlah dengan baik tanpa memikirkan apakah besok masih bisa makan lagi. Beristirahatlah.


Memang, untuk urusan dunia, uang tak pernah ada cukupnya. Seberapa besar uang yang kita pergunakan untuk memuaskan hawa nafsu, pada akhirnya kita takkan pernah mendapatkan kenikmatan hakiki. Namun bersedekah dengan keihklasan penuh, memuaskan jiwa yang pada dasarnya adalah orang-orang baik. Bukankah, begitu? :)


Berbagilah, Mahasiswa. 

Carilah alasan untuk membeli daganganya meski tidak membutuhkannya. Sebab sesungguhnya mereka sedang menghindari diri dari meminta-minta.

Meski sedikit, namun meringankan bebannya. Kita tak pernah tahu, barangkali apa yang kita berikan hari ini adalah satu-satunya rezeki yang bisa ia gunakan untuk membeli sepiring nasi.


Pedulilah, Mahasiswa.
Jangan merasa sudah menjadi 'Maha'  karena menempati strata yang lebih baik di masyarakat.
Kita-lah harapan mereka di saat para petinggi berleha-leha dengan hasil keringat rakyat. Kita-lah harapan mereka di saat para petinggi tak lagi pro terhadap suara rakyat. 

Sebab kita bukan tak merasa. Harga pangan kini tak stabil.

Masyarakat kecil semakin mengecil.

Senin, 23 Februari 2015

Tentang Mimpi

Institut Pertanian Bogor. Perguruan Tinggi yang membuka mataku bahwa pertanian bukan hanya soal cangkul-mencangkul dan bersatu dengan lumpur. Perguruan Tinggi yang membuatku merasakan bagaimana rasanya memiliki mimpi..


Mimpi yang mendesak pemimpinya untuk bangun dan melakukan perubahan. Agar mimpi tersebut tidak melayang terbang tidak sempat di-amin-kan. Hingga ketika aku merasa kesempatan itu sudah tidak ada, mimpi bercerita tentang doa-doa yang tak  luput dari  seperempat malam terakhir ketika kening dan sajadah bersatu..


***

Kelas 11.

Aku menggerakan jemariku diatas keyboard, sesekali menekan tombol scroll dan berhenti sejenak. Kuletakkan siku kiriku diatas meja dan kutopang daguku di telapak tanganku. Serasa baru saja mendapat kupon undian berhadiah liburan ke ke Paris bersama ibu dan kakakku. Refleks kuambil buku yang tampak dihadapanku dan kutarik secarik kertas di halaman belakang. 

Kutulis sebuah nama yang membuat senyumku melebar sedari tadi. Yang membuat jantungku berdegup kencang sedari tadi. Bibirku ikut bergerak membacakannya untuk diriku sendiri.


"Institut.. Pertanian Bogor."


Pertama kalinya. Rasanya luar biasa. Seperti tersengat, tak seperti sengatan lebah yang membuatku tak berkutik saking terasa sensasinya. Sengatan yang ini membuatku candu untuk menuliskannya lagi dan lagi.  Bulu kuduk-ku merinding. 
Perasaan bangga itu ada.

Untuk pertama kalinya, aku punya mimpi.
..seperti orang kebanyakan.


Aku tahu kala itu aku banyak mainnya. Bukan tanpa alasan. Aku masih tidak menerima jurusan ini, jurusan ipa. Aku yakin akan masuk ips, aku suka sekali hal-hal sosial ataupun yang memerlukan pandangan. Aku bersemangat kala pelajaran kewarganegaraan. Dan jarang sekali aku tak mengangkat tangan saat guru bahasa indonesia menanyakan tanggapan yang bisa diberikan terhadap bacaan. Entah mengapa. Hal-hal yang berhubungan dengan analisa menarik perhatianku.

Ketika aku mendapat rapor semester 1 untuk kelas 11. Betawa pedihnya hati ini, bukan karena urutan ranking yang dibacakan, aku menangis karna telah membuat ibuku kecewa, sekalipun ibu tak menampakkan kekecewaan itu. Aku mendapat ranking 20an dari 32 siswa. 
Entahlah, aku sampai tidak ingat tepatnya berapa. Yang kuingat hanya suara wali kelasku yang menyebutkan angka depan, 20. Selebihnya, pikiranku kosong.

Angan-anganku untuk berada di IPB mundur selangkah.


Namun begitu, acapkali aku membuka twitter, kebiasaan membuka acc twiiter official IPB seperti sudah mendarah daging.


Jadilah, hari berganti dan keinginanku menjadi-jadi.


Singkatnya, aku berubah 180 derajat. Aku mengikuti pelajaran sebaik mungkin. Malam-malamku kuhabiskan dengan latihan soal-soal dan membaca materi yang baru diajarkan esok hari. Aku berharap setidaknya masuk 10 besar dengan usaha dan ikhtiar ini.

"Setidaknya ranking 10, yaRabb.."
Batinku terus saja mengaduh ranking 10 sebelum pengunguman ranking mid semester kelas 12.


Hari itu pun tiba. Hari pengunguman ranking. Hari ranking 10-ku yang kutunggu-tunggu. Aku telah menerka-nerka sendiri dari jauh-jauh hari siapa saja yang akan mendapat ranking 1-9.
Dan kemudian akulah sang urutan ke-10 itu.

Wali kelasku membacakan urutan dari ranking 1. Bibirku sibuk sendiri, komat-kamit berucap dzikir.

"Juara 1.."

Wali kelasku diam sejenak


"Ade Gusalinda." Lanjutnya. Tepukan tangan teman-teman spontan mengagetkanku.


Aku shock. 


Ucapan selamat berhamburan dari segala penjuru.
Allah Maha Besar. Ini bukan mimpi.

Ingatan setahun yang lalu melayang di pikiranku. Tangis yang pecah di pelukan temanku, hari ini terbayar sudah.
Hari ini, senyumku mengembang di pelukan temanku. 

Urutan terendah, penuh hikmah.
Benar kata orang, usaha tidak pernah mengecewakan hasil.


Hari itu, angan-angan berada di kampus hijau maju dua langkah.


Singkatnya, semester 2 dipenuhi kesibukan untuk seleksi masuk PTN. Meski begitu kuatnya keinginanku di IPB, aku juga ingin bersikap realistis tanpa pesimis namun optimis. 
Aku tak mengambil IPB di snmptn. Bukan karna universitas yang kuambil lebih mudah. Aku tak pernah mempunyai pilihan selain IPB. Segalanya menjadi lebih mudah ketika Allah, mengirimkan seseorang yang membuka pikiranku untuk menjatuhkan pilihan hingga aku memilih univ tersebut. Universitas yang sama dengan dirinya.

Walaupun pada akhirnya aku gagal, Aku tidak menyesal.

Setidaknya aku pernah berjuang tentang hal yang sama dengannya. Meski langkahnya lebih dulu.


Singkatnya, aku mengikuti segala cara untuk bisa masuk IPB, kecuali jalur mandiri. Aku menganggap segala bentuk mandiri itu besar biayanya. Aku tak ingin membebani ibu sebagai single parent. Sudah cukup pengorbanannya selama ini.

Bagiku, memikirkan ia kesusahan selagi aku merantau saja aku tidak tega. Dan pertanyaannya, anak manakah yang akan tega?


Setelah sederet perjalanan yang ku tempuh, tibalah aku di hari itu. Hari pengunguman, nama lainnya adalah hari terakhir untuk menyudahi segala mimpi-mimpi dan memulai mimpi yang baru, setelah ini. Aku benar-benar pesimis. Hari itu, hanya sebuah kalimat yang berputar-putar di kepalaku.

"Rencana-Nya Maha Baik" 


Lalu, bagaimana hasilnya?
...kau tahu?

Aku tak salah menjatuhkan pilihan sejak awal. 
Ini jalanku, ini usahaku, inilah doa ibuku.

Iya.
Assalamualaikum, IPB! 


Alhamdulillah, Aku diterima menjadi maba IPB. Jurusan Statistika. 


Tak ada lagi kata yang sepadan kuucapkan untuk memuja Kebesaran-Nya. 

Aku diterima di IPB, universitas yang masih ada di dalam doa-ku ketika ibu menyuruhku untuk tidak berharap lagi di IPB. Karna begitu banyak ketidakmungkinan yang aku sendiri menutup mata untuk mau tahu. Akal yang menyadarkanku bahwa ibu benar.


Namun, siapa yang dapat melampaui akal? Siapa yang dapat mematahkan segala ketidakmungkinan?


Lagi-lagi Dia. Sebab hanya Dia.

Allah Tabaraka Wa Ta'ala.

Hari itu, keharuan menyelimuti rumah kami. 

Meski hanya ada aku dan ibu didalamnya^^


Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdziban.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (:


"Aku percaya Tuhan menempatkan segala sesuatu sesuai takaran. Takaran yang adil tanpa melihat kasta. Tak ada pembeda. Sebab yang mempunyai derajat paling tinggi  adalah yang paling senang beribadah dan tak berhenti berusaha, peluhnya sampai ke pelupuk mata, namun tak berhenti meski mengaburkan mata," - De.



Minggu, 22 Februari 2015

Ada namamu, di cita-citaku

Terkadang, aku terlalu sibuk beraktifitas.  Namun untuk Allah, hanya secuil waktu yang kuberikan untuk-Nya.
Entah apa yang akan ku katakan jika sedetik kemudian ia memanggilku..    

Terkadang, aku pun terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tak pasti. Ataupun hal yang tak halal bagiku. Sementara, ada hal yang pasti terjadi namun seringkali terabaikan seolah-olah ia datang hanya ketika tua nanti. 
Padahal tak ada makhluk bernyawa yang   mengetahui.
Dialah, yang disebut  mati.

Meski begitu. Setiap makhluk bernyawa yang akan merasakan mati pasti mempunyai  cita-cita menggebu didalam diri. Tak sedikit pula yang berharap dapat menggapainya sebelum malaikat maut menghampiri.

Sama halnya aku.

Sebelum waktu berhenti untukku, Aku Ingin menjadi wanita yang lebih baik lagi. Jalan berkerikil menuju gerbang cita-citaku dapat ku lewati, bisikan-bisikan setan yang akan membelokkan niatku dapat kuperangi.

Aku ingin istiqamah menggapai mereka dijalanku, di tanganku sendiri.

Adalah cita-cita dan kebahagiaan, mendaftarkan ibu pergi haji^^             

Mengabarkan ibu bahwa anaknya telah mendaftarkan namanya sebagai calon jemaah haji. Cita-cita yang merangkul nama ibu di dalamnya, meggeser cita-citaku menjadi psikologi. Cita-citaku saat ini dan kurasa takkan berubah. Malah bertambah. Hm, menjadi perangkai puisi dan istri yang shalihah, barangkali? :p

Rabu, 04 Februari 2015

Memperingati Hari Kanker Sedunia

Untukmu, orang-orang kuat sedunia,

yang kaya akan rasa syukur..

Pagi ini masih bisa bernapas meski menggunakan alat bantu, kau tetap percaya Tuhan itu baik.

Bahagiamu sederhana saja. Melewati setengah hari tanpa darah yang tergenang di rongga hidungmu.
Sesederhana itu.

Mungkin terkadang, kau pun sedih sekaligus terheran-heran mengapa banyak orang yang ingin mati bunuh diri hari ini hanya karena masalah yang tak dapat ia atasi. Sementara dirimu-untuk bisa hidup esok hari, harus menjalani radiasi kemoterapi.

Memang,
Penyakit menjadikan ragamu sakit. Tetapi jiwamu, kau rakit.

Maka untukmu,
La Tahzan. Janganlah bersedih.
Semesta bersama kepedihanmu.

..dan untuk kita,

Janganlah merasa diri lebih baik.
Raga yang sehat bukan berarti jiwa tak sekarat :)