Sabtu, 12 September 2015

Mereka menyebutnya, Endah Alhur.

Cerita ini, ketika saya masih semester dua.
Sekarang sudah tingkat dua, sebentar lagi tingkat tiga, sebentar lagi wisuda, sebentar lagi menikah dan punya tiga anak lucu-lucu.

Oke. Lupakan.


Jadi, saat itu seusai praktikum, saya menarik langkah berbalik ke arah Masjid Alhurriyah IPB. Saya teringat acara yang diadakan Alhur. Sesampainya disana, ternyata saya salah mencerna informasi, saya memutuskan balik lagi ke asrama setelah shalat maghrib di Alhur.

Adzan berkumandang. Saya meletakkan barang bawaan dan pergi berwudhu.
Sesaat setelah keluar dari tempat wudhu, saya berpapasan dengan sosok yang tak asing lagi bagi mahasiswa IPB.
Lengkap dengan penampilan khasnya, Gamis dan jilbab syar’i.
Namanya Endah. Mereka menyebutnya "Endah Alhur" karena ia seringkali berada di Masjid Alhurriyah IPB.


Sebenarnya tak sopan jika kita hanya menyebutnya Endah Alhur. Sebab barangkali, beliau sudah berbeda jauh soal umur.

Masih teringat beberapa waktu lalu ketika saya hampir saja diserempet motor, beliau berteriak menyadarkan saya dan mengatakan hal yang kurang berkenan.  Dan sekarang, saya pun berpapasan dengannya. Lagi.
Disini, lewat takdir ini,
yang kemudian merubah segala persepsi saya tentangnya..

“Eh, si merah..” tegurnya sambil menunjuk jilbab saya yang berwarna merah. Dada saya berdegup kencang. Kaget, Saya pun menatapnya, tanpa berani menyunggingkan senyuman.
Sejenak ia berlalu, barulah saya memberanikan diri untuk menoleh. Saya melihatnya dari tangga yang biasanya dilalui para akhwat untuk shalat di lantai 3. Beliau  hendak masuk ke tempat berwudhu wanita.

Tepat di depan pintu tempat berwudhu, ada kejadian salim-salim-an yang tak pernah saya sangka.
Jujur saja, Saat itu-kejadian seperti ini-masih sangat asing bagi saya yang sebelumnya masih terbilang jarang melangkahkan kaki ke masjid Alhur.
Beberapa orang menyalami dan mencium tangan beliau. Bahkan, seorang perempuan berkerudung lebar datang memeluknya. Memperlakukannya seperti saudaranya sendiri.
Ah, rasanya, saya pun merasakan kehangatan yang beliau rasakan setiap diperlakukan baik seperti ini.


Sementara beberapa orang yang berlalu lalang bereaksi seperti saya, melihat dan seakan tak percaya.
 Tak bisa dipungkiri rasa penasaran saya. Apa benar ini beliau? Endah “Alhur” yang seringkali di jadikan bahan tertawaan, ditakuti karena tatapan, tindakan, dan lantang suaranya. Saya tak melihat satupun  cela yang tampak pas melekat padanya di jarak sedekat ini.

Bagi saya,
melihat secara dekat lebih baik dibandingkan mendengar lebih banyak. Tapi mendengar lebih banyak, akan lebih baik jika kemudian  meluruskan selurus-lurusnya ataupun tak mempercayai sama sekali.
Bukankah setiap agama mengajarkan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan?


Saya jadi teringat masa semester satu, kalau tidak salah, Ketika itu, saya bukanlah apa yang saya rasakan sekarang. keinginan berhijrah belum membatin, keinginan taat sebatas suara nyaring,  Teman-teman membincangkan Endah Alhur dan menjadikannya bahan tertawaan, saya pun ikut tertawa tanpa mengajak menyudahinya. Allah. Betapa hinanya, betapa hinanya saya saat itu..

Barakallahu, untuk beliau,
di Pengadilan Allah kelak, entah berapa banyak catatan amal baik yang beliau sendiri pun tak merasa pernah melakukanya.  Sebab amalan tersebut datang dari mereka sendiri, orang-orang yang telah mencemoohnya..

Saya kembali menaiki tangga dengan perasaan tak menentu. Terbesit niatan untuk sekedar berbagi sapa dengannya.
Ketika sampai di jamaah perempuan, ternyata saya masbuk. Saya bergegas mengambil mukena dan sengaja mengambil tempat shalat di pinggir paling kanan, sementara beliau mengambil deretan shaf pinggir paling kiri.

Saya kembali mencari sosoknya setelah shalat..

“itu suara kipas angin mengganggu orang shalat!” hingga kemudian terdengarlah suara khasnya, yang lantang dan tak pernah malu-malu. Seperti biasanya..

Saya melihatnya lagi.

Endah Alhur. 
Wanita yang tak jarang di tolak penduduk dunia, sebab saya rasa, ia lebih pantas diterima penduduk langit.
Mungkin saja,
namanya telah harum di sebut-sebut para malaikat, Sebuah istana surga lengkap dengan pemuda yang selalu muda untuknya, telah tercatat.
Allahumma Aamiin.

Saya bergegas merapikan mukena dan tanpa ragu mendekati pemilik suara itu..
Hingga  tepat berhadapan, ia melihat saya. Segera saya mengulurkan tangan, lalu mencium tangannya.
Allah. Saya hanya mampu berteriak dalam hati, menyesali tawa yang pernah tertuju padanya. Tertekad di hati, memahaminya dari segala sisi..


"oh.. kirain si novia tadi" selorohnya sambil melihat ke sekitar.
"bukan bu." saya tersenyum kecil. 

"eh bagi 5000 dong. 5000.." ujarnya tiba-tiba berbisik. Saya hampir saja tertawa. Bukan, bukan karna ia tak sesuai dengan yang  saya bayangkan. Tapi memang inilah dirinya..
Saya jadi teringat ketika SD, saya palakin temen supaya kelihatan lebih akrab.. :))

Jika saya mengingat-ngingat kembali kejadian saya hampir diserempet motor, bisa jadi tindakannya itu adalah caranya untuk memberitahu saya ada motor yang melaju dan hampir menyerempet saya..
Who knows? ^^

Tulisan ini untuk mengingatkan diri.

Endah.
Alhur.
Dua kata sebagai panggilan.
Perempuan yang juga Allah cipta.
Kita dan beliau sama. Sama-sama celupan warna Allah. Maka pantaskah, menghina apa yang Allah karya? Apakah kita punya jaminan, bahwa kelak di Pengadilan Allah, kita dalam keadaan baik dan tak terhina?

Tak pernah berbaju kehabisan bahan^^ Gamis lagi, gamis terus. Tak pernah ia tinggalkan.
Maka pantaskah, mencemooh perintah Allah dan sunnah rasul yang ia teladankan?

Anak muda yang bukan mahrom terlihat berduan, dengan lantang ditegurnya. Dengan berani, dapat dipisahkannya. Dengan caranya..

Ya.
Caranya yang belum diterima orang kebanyakan. Sebab dirasa tak waras. Sebab terlalu lantang, terlalu berani. Dia yang terlalu berani menentang.
Sementara kita, yang terlalu merasa benar,
sulitkah mengambil pelajaran?
ataukah budaya mencemooh, memang sudah begitu mengudara diantara kita?



Jawabannya, ada pada kita.
'



Foto saya ambil dari she-yummie.blogspot.com.